Kendalikan Stroke dari Faktor Risiko
Stroke terjadi karena pembuluh darah yang mengalirkan darah ke otak mengalami penyumbatan atau pecah.
Tidak hanya menyerang orang tua, kini stroke dapat pula menyerang kaum muda, bahkan anak-anak. Segeralah antisipasi dengan terus memonitor faktor-faktor risikonya.
Penyakit orang tua, demikian umumnya pandangan masyarakat terhadap penyakit stroke. Pandangan tersebut sebenarnya tidaklah tepat karena stroke ternyata dapat menyerang siapa saja dari semua lapisan usia. Bahkan, anak-anak pun berisiko terkena penyakit itu.
Stroke bisa terjadi karena pembuluh darah yang mengalirkan darah ke otak mengalami penyumbatan atau pecah sehingga sebagian area otak tidak mendapatkan aliran darah dan rusak. Padahal, otak manusia membutuhkan aliran darah yang konstan membawa darah yang mengandung oksigen dan nutrisi untuk bekerja memberi perintah ke organ-organ tubuh lainnya.
Berhubung otak mengalami gangguan, maka organ tersebut menjadi tidak berfungsi maksimal. Menurut Agus Purwadianto, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, adanya gangguan itu mengakibatkan otak tidak dapat memerintah secara baik terhadap seluruh organ, termasuk mengontrol organ tubuh.
Serangan stroke dapat terjadi secara tiba-tiba, baik ketika penderita sedang beristirahat, berolah raga, maupun bekerja. Meski bukan penyakit menular, serangan stroke tetap harus diwaspadai mengingat penyakit tersebut menjadi penyebab kematian nomor tiga di dunia dan penyebab kecacatan nomor satu setelah penyakit jantung dan kanker. “Dulu, stroke biasa datang pada mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Namun, sekarang usia produktif, usia 30 sampai 40 tahun, bisa mengalami stroke,” terang Agus di seminar kesehatan bertajuk “Kenali dan Atasi Penyakit Stroke” yang diselenggarakan Soho Global Health, di Jakarta, beberapa hari lalu.
Agus menegaskan stroke dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia dan kapan saja. Di Indonesia, pasien stroke terus meningkat dari tahun ke tahun dan sekitar 50 persen dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit di bagian penyakit saraf merupakan pasien stroke. Selain adanya kecenderungan peningkatan jumlah penderita, di Indonesia stroke merupakan penyebab utama kematian di semua lapisan usia dengan proporsi 15,4 persen.
Pada kelompok umur 45 sampai 54 tahun, stroke merupakan penyebab kematian terbesar di perkotaan dengan proporsi 15,9 persen, sedangkan di perdesaan, penyakit tersebut merupakan penyebab kematian kedua tertinggi dengan proporsi 11,5 persen. Pada kelompok umur 55 sampai 64 tahun, stroke merupakan penyebab kematian tertinggi, baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Agus melanjutkan adanya peningkatan prevalensi stroke di Indonesia, dari 8,3 per 1.000 penduduk pada tahun 2007, menjadi 12,1 per 1.000 penduduk pada 2013. Kondisi tersebut, tak pelak, menjadi masalah dalam pembangunan kesehatan karena berdampak pada penurunan tingkat produktivitas penduduk dan menimbulkan beban biaya tinggi.
Memonitor Faktor Risiko
Beban akibat stroke terutama pada adanya kematian dan kecacatan yang akan menimbulkan pengaruh sosial dan psikologi terhadap penderita, termasuk terhadap keluarga, masyarakat, dan negara. Sehubungan dengan itu, dalam rangka pengendalian stroke pemerintah menjalankan strategi pengendalian dalam bentuk promosi kesehatan, deteksi dini, dan memonitor faktor risiko, termasuk juga menerapkan konsep respons cepat ke unit gawat darurat khusus stroke, pengobatan dan kepatuhan minum obat, serta rehabilitasi.
Untuk upaya deteksi dini faktor risiko stroke, dapat dimulai dari kegiatan Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular), yaitu kegiatan dari masyarakat untuk masyarakat berupa pemonitoran dan deteksi faktor risiko penyakit tidak menular yang dilaksanakan setiap bulan. “Penyakit tidak menular seperti stroke sudah menjadi perhatian dan bagian dari pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat,” ujar Agus.
Perhatian dan penanganan khusus yang diberikan pemerintah terbilang wajar. Ini disebabkan selama ini stroke masih diabaikan generasi muda, khususnya kaum urban yang kurang memperhatikan gaya hidup sehat. Sebagian kaum muda masih menjalankan pola makan yang tidak sehat, mengonsumsi obat-obatan, seperti narkoba, merokok, dan minum alkohol.
Terkait hal itu, Frandy Susatia SpS, spesialis saraf Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta, membenarkannya. Menurut dia, banyak penduduk kota yang terjebak dalam gaya hidup kurang sehat. Mereka lebih memperhatikan pergaulan daripada kesehatan diri sendiri.
Padahal, gaya hidup tidak sehat tersebut dapat menyebabkan penyakit-penyakit pemicu stroke, seperti diabetes dan darah tinggi berkembang cepat. “Selain itu, banyak orang kurang melakukan aktivitas fisik, seperti olah raga, karena sibuk bekerja. Karena keterbatasan waktu, usai bekerja – menyebabkan sebagian orang sulit berolahraga. Keterbatasan waktu itu bukannya dimanfaatkan untuk berolah raga, malah untuk menjalankan kegiatan-kegiatan kurang sehat. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan seseorang mudah terserang stroke,” urai Frandy.
Kebiasaan buruk lain yang sering dilakukan kaum pekerja ketika berada di kantor adalah makan berlebih. Menurut Frandy, kebiasaan seperti itu jelas tidak baik bagi kesehatan. Badan akan bertambah besar, menjadi gemuk. Demikian pula lemak, semakin bertambah banyak.
Ketika tubuh kurang berolah raga, sementara asupan yang berasal berbagai makanan terus meningkat, secara otomatis hal itu berdampak buruk terhadap kesehatan. Karena itu, agar tubuh tetap sehat, Frandy menyarankan sesibuk apa pun selalu luangkan waktu untuk berolah raga.
Bagi para pekerja, seusai bekerja usahakan berolah raga minimal 30 menit. Selain itu, penting pula untuk mengurangi mengonsumsi makanan berlemak tinggi, termasuk ketika sedang bekerja. Upaya-upaya yang dipaparkan itu termasuk upaya mengontrol faktor risiko stroke.
Seperti diketahui, stroke merupakan penyakit yang dapat diperkirakan dan dapat dicegah dengan cara mengontrol faktor-faktor risikonya. Adapun faktor risiko stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang bisa dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi, seperti usia, jenis kelamin, ras, dan kecenderungan genetik. Adapun faktor risiko yang dapat dimodifikasi, di antaranya adalah tekanan darah tinggi, kolesterol atau hiperkolesterol, kegemukan, kencing manis, penyakit jantung, merokok, dan alkohol.
Lebih jauh, Frandy menjelaskan stroke dapat pula disebabkan oleh faktor keturunan. Faktor-faktor risiko terjadinya stroke, seperti hipertensi dan kencing manis, umumnya menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam beberapa penelitian memang ditemukan adanya kaitan antara keturunan dan angka kejadian stroke. Oleh karena itu, bagi mereka yang memunyai garis keturunan pemilik faktor risiko stroke, sebaiknya mulai mewaspadai faktor-faktor tersebut. Lebih baik mencegah ketimbang mengobati, bukan? faisal chaniago
Tip Mengatasi Stroke
1. Kendalikan Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang dapat menjadi pemicu serangan stroke, di antaranya darah tinggi, diabetes, obesitas, merokok, kelainan bernapas saat tidur, penggunaan kontrasepsi oral, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan obat, kolesterol tinggi, dan aktivitas fisik yang rendah. Faktor-faktor risiko itu harus dapat dikendalikan.
2. Mengubah Gaya Hidup dan Berolah Raga selama 30 Menit
Gaya hidup yang tidak sehat mesti diubah menjadi gaya hidup sehat. Setiap mengonsumsi atau meningkatkan konsumsi satu porsi buah-buahan dan sayuran, dapat menurunkan risiko stroke sebesar 6 persen. Selain itu, berolah raga dengan intensitas sedang selama 30 menit per hari juga mampu menurunkan risiko terserang stroke. Olah raga bisa dilakukan pada pagi atau malam hari.
3. Periksa Kesehatan secara Berkala
Usahakan selalu menyempatkan diri untuk memeriksakan kesehatan ke rumah sakit. Tujuannya untuk mengetahui dan mengontrol berbagai potensi penyakit yang mungkin diidap.
4. Memberdayakan Masyarakat
Masyarakat perlu pula diberdayakan dalam mengendalikan faktor risiko stroke. Harapannya, mereka menyadari dan mengerti tentang bahaya stroke terhadap pasien, keluarga, serta masyarakat, termasuk negara.
Tidak hanya menyerang orang tua, kini stroke dapat pula menyerang kaum muda, bahkan anak-anak. Segeralah antisipasi dengan terus memonitor faktor-faktor risikonya.
Penyakit orang tua, demikian umumnya pandangan masyarakat terhadap penyakit stroke. Pandangan tersebut sebenarnya tidaklah tepat karena stroke ternyata dapat menyerang siapa saja dari semua lapisan usia. Bahkan, anak-anak pun berisiko terkena penyakit itu.
Stroke bisa terjadi karena pembuluh darah yang mengalirkan darah ke otak mengalami penyumbatan atau pecah sehingga sebagian area otak tidak mendapatkan aliran darah dan rusak. Padahal, otak manusia membutuhkan aliran darah yang konstan membawa darah yang mengandung oksigen dan nutrisi untuk bekerja memberi perintah ke organ-organ tubuh lainnya.
Berhubung otak mengalami gangguan, maka organ tersebut menjadi tidak berfungsi maksimal. Menurut Agus Purwadianto, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, adanya gangguan itu mengakibatkan otak tidak dapat memerintah secara baik terhadap seluruh organ, termasuk mengontrol organ tubuh.
Serangan stroke dapat terjadi secara tiba-tiba, baik ketika penderita sedang beristirahat, berolah raga, maupun bekerja. Meski bukan penyakit menular, serangan stroke tetap harus diwaspadai mengingat penyakit tersebut menjadi penyebab kematian nomor tiga di dunia dan penyebab kecacatan nomor satu setelah penyakit jantung dan kanker. “Dulu, stroke biasa datang pada mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Namun, sekarang usia produktif, usia 30 sampai 40 tahun, bisa mengalami stroke,” terang Agus di seminar kesehatan bertajuk “Kenali dan Atasi Penyakit Stroke” yang diselenggarakan Soho Global Health, di Jakarta, beberapa hari lalu.
Agus menegaskan stroke dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia dan kapan saja. Di Indonesia, pasien stroke terus meningkat dari tahun ke tahun dan sekitar 50 persen dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit di bagian penyakit saraf merupakan pasien stroke. Selain adanya kecenderungan peningkatan jumlah penderita, di Indonesia stroke merupakan penyebab utama kematian di semua lapisan usia dengan proporsi 15,4 persen.
Pada kelompok umur 45 sampai 54 tahun, stroke merupakan penyebab kematian terbesar di perkotaan dengan proporsi 15,9 persen, sedangkan di perdesaan, penyakit tersebut merupakan penyebab kematian kedua tertinggi dengan proporsi 11,5 persen. Pada kelompok umur 55 sampai 64 tahun, stroke merupakan penyebab kematian tertinggi, baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Agus melanjutkan adanya peningkatan prevalensi stroke di Indonesia, dari 8,3 per 1.000 penduduk pada tahun 2007, menjadi 12,1 per 1.000 penduduk pada 2013. Kondisi tersebut, tak pelak, menjadi masalah dalam pembangunan kesehatan karena berdampak pada penurunan tingkat produktivitas penduduk dan menimbulkan beban biaya tinggi.
Memonitor Faktor Risiko
Beban akibat stroke terutama pada adanya kematian dan kecacatan yang akan menimbulkan pengaruh sosial dan psikologi terhadap penderita, termasuk terhadap keluarga, masyarakat, dan negara. Sehubungan dengan itu, dalam rangka pengendalian stroke pemerintah menjalankan strategi pengendalian dalam bentuk promosi kesehatan, deteksi dini, dan memonitor faktor risiko, termasuk juga menerapkan konsep respons cepat ke unit gawat darurat khusus stroke, pengobatan dan kepatuhan minum obat, serta rehabilitasi.
Untuk upaya deteksi dini faktor risiko stroke, dapat dimulai dari kegiatan Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular), yaitu kegiatan dari masyarakat untuk masyarakat berupa pemonitoran dan deteksi faktor risiko penyakit tidak menular yang dilaksanakan setiap bulan. “Penyakit tidak menular seperti stroke sudah menjadi perhatian dan bagian dari pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat,” ujar Agus.
Perhatian dan penanganan khusus yang diberikan pemerintah terbilang wajar. Ini disebabkan selama ini stroke masih diabaikan generasi muda, khususnya kaum urban yang kurang memperhatikan gaya hidup sehat. Sebagian kaum muda masih menjalankan pola makan yang tidak sehat, mengonsumsi obat-obatan, seperti narkoba, merokok, dan minum alkohol.
Terkait hal itu, Frandy Susatia SpS, spesialis saraf Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta, membenarkannya. Menurut dia, banyak penduduk kota yang terjebak dalam gaya hidup kurang sehat. Mereka lebih memperhatikan pergaulan daripada kesehatan diri sendiri.
Padahal, gaya hidup tidak sehat tersebut dapat menyebabkan penyakit-penyakit pemicu stroke, seperti diabetes dan darah tinggi berkembang cepat. “Selain itu, banyak orang kurang melakukan aktivitas fisik, seperti olah raga, karena sibuk bekerja. Karena keterbatasan waktu, usai bekerja – menyebabkan sebagian orang sulit berolahraga. Keterbatasan waktu itu bukannya dimanfaatkan untuk berolah raga, malah untuk menjalankan kegiatan-kegiatan kurang sehat. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan seseorang mudah terserang stroke,” urai Frandy.
Kebiasaan buruk lain yang sering dilakukan kaum pekerja ketika berada di kantor adalah makan berlebih. Menurut Frandy, kebiasaan seperti itu jelas tidak baik bagi kesehatan. Badan akan bertambah besar, menjadi gemuk. Demikian pula lemak, semakin bertambah banyak.
Ketika tubuh kurang berolah raga, sementara asupan yang berasal berbagai makanan terus meningkat, secara otomatis hal itu berdampak buruk terhadap kesehatan. Karena itu, agar tubuh tetap sehat, Frandy menyarankan sesibuk apa pun selalu luangkan waktu untuk berolah raga.
Bagi para pekerja, seusai bekerja usahakan berolah raga minimal 30 menit. Selain itu, penting pula untuk mengurangi mengonsumsi makanan berlemak tinggi, termasuk ketika sedang bekerja. Upaya-upaya yang dipaparkan itu termasuk upaya mengontrol faktor risiko stroke.
Seperti diketahui, stroke merupakan penyakit yang dapat diperkirakan dan dapat dicegah dengan cara mengontrol faktor-faktor risikonya. Adapun faktor risiko stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang bisa dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi, seperti usia, jenis kelamin, ras, dan kecenderungan genetik. Adapun faktor risiko yang dapat dimodifikasi, di antaranya adalah tekanan darah tinggi, kolesterol atau hiperkolesterol, kegemukan, kencing manis, penyakit jantung, merokok, dan alkohol.
Lebih jauh, Frandy menjelaskan stroke dapat pula disebabkan oleh faktor keturunan. Faktor-faktor risiko terjadinya stroke, seperti hipertensi dan kencing manis, umumnya menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam beberapa penelitian memang ditemukan adanya kaitan antara keturunan dan angka kejadian stroke. Oleh karena itu, bagi mereka yang memunyai garis keturunan pemilik faktor risiko stroke, sebaiknya mulai mewaspadai faktor-faktor tersebut. Lebih baik mencegah ketimbang mengobati, bukan? faisal chaniago
Tip Mengatasi Stroke
1. Kendalikan Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang dapat menjadi pemicu serangan stroke, di antaranya darah tinggi, diabetes, obesitas, merokok, kelainan bernapas saat tidur, penggunaan kontrasepsi oral, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan obat, kolesterol tinggi, dan aktivitas fisik yang rendah. Faktor-faktor risiko itu harus dapat dikendalikan.
2. Mengubah Gaya Hidup dan Berolah Raga selama 30 Menit
Gaya hidup yang tidak sehat mesti diubah menjadi gaya hidup sehat. Setiap mengonsumsi atau meningkatkan konsumsi satu porsi buah-buahan dan sayuran, dapat menurunkan risiko stroke sebesar 6 persen. Selain itu, berolah raga dengan intensitas sedang selama 30 menit per hari juga mampu menurunkan risiko terserang stroke. Olah raga bisa dilakukan pada pagi atau malam hari.
3. Periksa Kesehatan secara Berkala
Usahakan selalu menyempatkan diri untuk memeriksakan kesehatan ke rumah sakit. Tujuannya untuk mengetahui dan mengontrol berbagai potensi penyakit yang mungkin diidap.
4. Memberdayakan Masyarakat
Masyarakat perlu pula diberdayakan dalam mengendalikan faktor risiko stroke. Harapannya, mereka menyadari dan mengerti tentang bahaya stroke terhadap pasien, keluarga, serta masyarakat, termasuk negara.
0 Response to "Kendalikan Stroke dari Faktor Risiko"